AzabDan Sengsara merupakan novel karangan Merari Siregar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1921 dan berikutnya mengalami beberapa kali cetak ulang. Cetak ulang ke-29 tahun 2009. Novel itu muncul pertama kali dengan judul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis.Pada edisi selanjutnya anak judul "Seorang Anak Gadis" tidak disertakan lagi.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel Azab dan sengsara merupakan novel klasik karya Merari Siregar yang ditandai dengan penggunaan bahasa melayu yang kental pada ceritanya. Novel setebal 123 halaman ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1920 oleh Balai Pustaka. Merari Siregar lahir di Sipirok pada tanggal 13 Juli 1896 dan sempat bersekolah di Kweekschool Oost en West Gunung Sahari, Jakarta. Selain menulis novel Azab dan Sengsara, ia juga sempat menulis novel Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, dan Cinta dan Hawa Nafsu. Ia meninggal pada 23 April 1941 di Kalianget pada usianya yang ke-44 tahun. Novel ini berfokus pada kehidupan tokoh utamanya yaitu Mariamin. Kehidupan Mariamin menjadi tidak menentu sejak kematian ayahnya. Masalah mulai datang satu per satu, yang membuatnya merasa sengsara. Selain kematian ayahnya, hal lain yang membuatnya sedih adalah Mariamin kehilangan sosok pria yang dicintainya, Aminuddin. Mariamin telah menjalin hubungan asmara yang cukup lama dengan Aminuddin. Bahkan, mereka berdua sudah saling mengenal satu sama lain sejak mereka berdua duduk di bangku sekolah dasar. Namun, takdir berkata lain. Kisah cinta mereka harus kandas ketika Aminuddin dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan wanita lain. Padahal, awalnya Mariamin dan Aminuddin telah sepakat untuk menikah. Kondisi Mariamin semakin buruk lagi ketika dirinya terpaksa menikah dengan Kasibun. Kasibun ternyata mengidap penyakit kelamin menular yang membuat Mariamin menolak berhubungan badan dengan suaminya itu. Akibat nafsu yang tak terpenuhi itu, suaminya mulai gelap mata dan akhirnya berani memukul dan menyiksa Mariamin. Kritik sastra objektif adalah cara untuk memandang suatu karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri. Artinya, karya sastra menjadi objek yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai lingkungan kehidupannya sendiri. Kritik sastra objektif memisahkan karya sastra dari pengarang, pembaca, dan realita. Karya sastra dipandang sebagai kesatuan yang tersusun dari bagian-bagian yang saling Azab dan Sengsara ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan masyarakat suku Batak yang dapat menyebabkan kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang dimaksud disini adalah adat dan kebiasaan masyarakat suku Batak yang seringkali menjodohkan anaknya yang akhirnya membuat anaknya sengsara akibat perjodohan itu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Kedua laki-istri itu [mufakat] akan mencarikan jodoh anak mereka itu." hal. 91. Perjodohan ini umumnya dilakukan oleh kedua orang tuanya dengan memilih menantu yang dianggap baik dan berasal dari keluarga berada tidak dipandang hina. Seperti pada kutipan Siregar 1920, "Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskin miskinnya di daerah Sipirok?" hal. 91. Kutipan ini menunjukkan bahwa mereka tidak setuju bila nantinya Mariamin yang akan menjadi menantunya, karena Mariamin berasal dari keluarga miskin dan dipandang hina. Sedangkan keluarga Aminuddin merupakan keluarga yang terpandang, maka setidaknya Aminuddin harus memiliki menantu yang juga berasal dari keluarga terpandang. Meskipun Aminuddin sudah sangat dekat dan mengenal Mariamin dengan baik, orang tuanya tetap tidak menginginkannya. Seperti dalam kutipan Siregar 1920, "Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi akan datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara kesukaan Aminuddin itu; sungguhpun pertalian mereka itu masih dekat." hal. 91. Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua Aminuddin tidak peduli dengan apa yang disukai oleh Aminuddin dan lebih mementingkan adat dan bagaimana reaksi orang lain bila nantinya Aminuddin menikah dengan Mariamin. Mengutip Siregar 1920, "Ayahnya itu membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi bukanlah Mariamin yang diharap-harapnya itu ...." hal. 101. Dari kutipan tersebut, kita dapat melihat bahwa orang tua Aminuddin membawa gadis lain pilihan mereka untuk dinikahkan dengan Aminuddin tanpa persetujuan Aminuddin terlebih dahulu. Aminuddin pun tidak dapat menolak pernikahan itu karena akan membuat malu keluarganya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Apakah kata bapaknya nanti, bila anak gadis yang dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? Itu belum pernah kejadian dan bukan adat!" hal. 102. Pada akhirnya bukan hanya Aminuddin yang dijodohkan oleh orang tuanya, tetapi Mariamin juga mengalami hal yang sama. Mariamin dijodohkan dengan laki-laki asal Padangsidempuan yang tidak dikenalnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padangsidempuan, orang muda yang tiada dikenalnya, orang muda yang tiada dicintainya, jodoh yang tak disukainya." hal. 110. Setelah menikah dengan pria asal Padangsidempuan ini, Mariamin mengetahui bahwa suaminya ternyata memiliki penyakit yang dapat menular ketika berhubungan badan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, ""Patutlah ia pucat dan kurus," kata Mariamin pula dalam hatinya. "Seharusnyalah saya menjaga diriku supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku." hal. 114. Hal ini terjadi karena mereka belum saling mengenal sebelumnya dan langsung menikah akibat adat dan kebiasaan perjodohan itu. Tidak hanya itu, hubungan rumah tangga mereka juga tidak harmonis karena Mariamin menolak untuk berhubungan badan dengan suaminya itu. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya ..." hal. 119. Dari penjelasan-penjelasan dan bukti-bukti kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa Aminuddin dan Mariamin mengalami kesengsaraan akibat adat dan kebiasaan perjodohan yang mengharuskan mereka dan penokohan merupakan salah satu unsur intrinsik dari sebuah novel. Tokoh terbagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama pada novel Azab dan Sengsara adalah Mariamin dan Aminuddin. Sedangkan tokoh pembantu pada novel Azab dan Sengsara adalah Sutan Baringin Ayah Mariamin, Baginda Mulia saudara kandung Sutan Baringin, Nuria Ibu Mariamin, Baginda Diatas Ayah Aminuddin, Ibu Aminuddin, Marah Sait, Kasibun. Penokohan merupakan cara pengarang untuk menunjukkan sifat/karakter dari tokoh yang ada di dalam sebuah novel. Penokohan sosok Mariamin dapat digambarkan sebagai orang yang perhatian, yang dapat dibuktikan pada kutipan Siregar 1920, ""Sudahkah berkurang sesaknya dada Ibuku itu?" tanyanya sambil dirabanya muka ibunya yang sakit itu." hal. 5. Kalimat di atas menunjukkan bahwa Mariamin merupakan sosok yang perhatian dengan Ibunya yang sedang sakit. Selain perhatian, Mariamin juga anak yang penurut, dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, ""Sedapat-dapatnya anakanda akan menurut perkataan bunda itu," sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia merasa bala yang akan menimpa dirinya." hal. 112. Meskipun Mariamin merasa bahwa akan ada hal buruk yang menghampirinya, Mariamin tetap nurut akan perkataan Ibunya itu. Tidak hanya itu, Mariamin juga merupakan sosok yang lemah lembut. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, ""Mengapa angkang bertanya lagi?" jawab Mariamin, perempuan muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah kebiasaannya; jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah-tamah, lebih-lebih di hadapan anak muda, sahabatnya yang karib itu." hal. 4. Mariamin juga memiliki sifat yang jujur, hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Dengan tiada disembunyi-sembunyikan Mariamin menceritakan sekalian perkataan Aminuddin itu." hal. 11. Dalam kutipan tersebut, terlihat bahwa Mariamin tidak menyembunyikan apapun, ia menceritakan semua perkataan Aminuddin kepada Ibunya itu. Mariamin juga merupakan anak yang berbakti terhadap orang tuanya, terlihat dalam kutipan Siregar 1920, "Bagaimanakah dapat ia menolak perkawinan itu, karena ibunya berkehendak demikian. Menerangkan keberatannya serta perasaan kemauannya, tetapi membantah perkataan ibunya tak sampai hatinya; karena belum pernah diperbuatnya." hal. 109. Beralih ke penokohan sosok Aminuddin, ia juga seorang yang penurut dan berbakti pada orang tua, dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Meskipun Aminuddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu semua." hal. 102. Kutipan tersebut menunjukkan sifat Aminuddin yang awalnya menolak, tetapi ia akhirnya menerima permintaan orang tuanya itu. Hal ini menunjukkan bahwa Aminuddin merupakan anak yang penurut pada orang tuanya meskipun hal tersebut menyakitkan. Selain itu, Aminuddin juga merupakan anak yang rajin pada saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Hal ini dapat dilihat pada kutipan Siregar 1920, "Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya, akan tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga gurunya amat menyayangi dia." hal. 15. Suka menolong juga menjadi sifat yang dimiliki Aminuddin sejak ia kecil. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan Siregar 1920, "Di luar dan di dalam sekolah ia selalu menolong mereka, asal dapat olehnya. Ia dimarahi sekali-sekali oleh gurunya, kadang-kadang sampai mendapat hukuman, tetapi bukanlah karena nakal atau jahatnya, hanyalah karena menolong temannya, waktu berhitung." hal. 15. Dari kutipan tersebut, sangatlah jelas bahwa Aminuddin merupakan orang yang ringan tangan, sampai-sampai ia terlalu baik saat membantu temannya. Selain Mariamin dan Aminuddin, kedua orang tua mereka dan Kasibun juga memiliki peran yang penting dalam novel ini. Sutan Baringin merupakan ayah dari Mariamin yang memiliki sifat licik, hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Utangku, yaitu bagiannya yang kuhabiskan, haruslah pula kubayar, karena tiada dapat disembunyikan lagi. Tapi siapa tahu, aku harus mencari akal." hal. 61. Kutipan tersebut menunjukkan kelicikan Sutan Baringin yang ingin mencari cara agar ia mendapat seluruh bagian dari harta warisan orang tuanya, padahal harusnya ada bagian yang diberikan kepada saudaranya. Ayah Mariamin itu juga merupakan sosok yang pemarah, dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Tutur yang lemah-lembut itu tiada berguna lagi. Bukanlah dia akan melembutkan hati Sutan Baringin, tetapi menerbitkan nafsu marah saja. Dengan suara yang merengus dan keras ia berkata, "Diamlah engkau, apakah gunanya engkau berkata-kata itu?"" hal. 65. Kutipan tersebut menunjukkan sifat Sutan Baringin yang pemarah, walaupun istrinya sudah berbicara dengan lemah lembut, tetapi ia tetap saja marah. Tidak hanya itu, Sutan Baringin juga memiliki sifat tamak yang terlihat jelas dalam kutipan Siregar 1920, "Demikianlah budi Sutan Baringin terhadap kepada saudaranya yang datang dari tanah rantau itu. Hati cemburu, loba, tamak, dengki, dan khizit, sekaliannya itu sudah berurat berakar dalam darahnya; itulah yang akan merusakkan diri Sutan Baringin." hal. 61. Terlepas dari sifat Ayah Mariamin yang kurang baik, Mariamin memiliki ibu yang penyayang, yang dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, ""Anakku sudah makan?" tanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang." hal. 7. Kutipan tersebut menunjukkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, yaitu Mariamin. Selain penyayang, Ibu Mariamin juga seorang yang penyabar, hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati." hal. 83. Sementara, Baginda Diatas yang merupakan ayah dari Aminuddin memiliki sifat yang sombong. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut!" hal. 91. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Baginda Diatas tidak ingin untuk menikahkan Aminuddin dengan Mariamin oleh karena Mariamin adalah seorang gadis yang miskin. Padahal mereka berdua sudah saling mengenal sejak kecil dan memiliki hubungan yang sangat dekat. Meskipun begitu, Ibu Aminuddin memiliki sifat baik hati yang dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Kalau Mariamin telah menjadi menantunya, tentu adalah perubahan kemelaratan orang itu, pikir ibu Aminuddin." hal. 91. Dari kutipan tersebut, dapat dilihat sifat baik hatinya, karena awalnya Ibu Aminuddin mendukung permintaan anaknya untuk menikah dengan Mariamin meskipun ia seorang gadis miskin. Ibunya berpikir jika Aminuddin menikahi Mariamin, nasib Mariamin akan menjadi lebih baik. Tidak hanya baik hati, Ibu Aminuddin juga memiliki sifat penyayang. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Si ibu yang melihat kelakuan suaminya kepada anaknya, acap kali berkata, "Janganlah kakanda terlalu keras kepada anak kita itu! Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi kakanda selalu menyuruh dia bekerja." hal. 16. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ibu Aminuddin sayang terhadap anaknya, Aminuddin. Ia tidak ingin anaknya yang masih kecil sudah bekerja terlalu keras. Kasibun, suami dari Mariamin yang merupakan hasil perjodohan dari ibunya memiliki sifat yang kasar. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya ..." hal. 119. Kutipan tersebut menunjukkan sifat Kasibun yang sangat kasar terhadap istrinya sendiri. Terlihat dari kutipan bahwa ia tak segan untuk menampar, memukul, bahkan menyiksa yang digunakan dalam novel Azab dan Sengsara ini adalah alur campuran, karena runtutan alur pada novel terdapat alur maju dan alur mundur. Keseluruhan alur dapat dipahami dengan jelas karena perubahan-perubahan alur yang terlihat dengan jelas. Kisah diawali dengan perpisahan Aminuddin dan Mariamin di depan rumah Mariamin. Aminuddin berpamitan pada Mariamin dan mengatakan ia akan pergi merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Saya datang ini hanya hendak bersua dengan kau sebentar saja. Malam ini saya hendak pergi ke rumah seorang sahabatku yang baru datang dari Deli." hal. 4. Kisah dilanjutkan dengan menceritakan masa lalu Aminuddin dan Mariamin saat mereka masih kanak-kanak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan Siregar 1920, "Mariamin anak yang cantik itu, duduk sekarang di kelas dua dan Aminuddin di kelas empat." hal. 20. Lalu kisah kembali dilanjutkan pada "masa sekarang" setelah Aminuddin meninggalkan kampung halamannya tiga bulan lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Tiga bulan sudah lamanya saya meninggalkan negeri tumpah darah kita, meninggalkan kampung halaman tempat kita bermain-main, meninggalkan kekasihku, Mariamin." hal. 87. Kisah itu dilanjutkan hingga akhir novel, yang berarti tidak ada lagi pergantian alur mundur hingga akhir kisahnya. Latar yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar-latar dalam novel ini digambarkan dengan jelas, sehingga pembaca dapat mengetahui latar-latar yang digunakan dalam novel ini. Latar tempat dalam novel Azab dan Sengsara ini adalah Kota Sipirok, yang dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok itu?" hal. 2. Batu besar juga menjadi latar tempat dalam novel ini yang dapat dibuktikan dengan kutipan Siregar 1920, "Sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang." hal. 3. Selain itu, Rumah Mariamin juga menjadi latar tempat dalam novel ini yang dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Sekarang baiklah kita tinggalkan rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu." hal. 13. Kampung A juga menjadi salah satu latar tempat pada novel ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu." hal. 13. Tidak hanya itu, Deli dan Medan juga termasuk dalam latar tempat pada novel ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Setelah lengkaplah sekalian, Baginda Diatas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya itu." hal. 96, dan "Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan, dengan maksud hendak bersua dengan Mariamin, sahabatnya yang tak dilupakannya itu." hal. 116. Beralih ke latar waktu, kejadian dalam kisah ini terjadi pada pagi, sore, dan malam hari. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin, supaya mereka itu sama-sama pergi ke sekolah." hal. 21, "Hari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung Sibualbuali, yang menjadi [batas] dataran tinggi Sipirok yang bagus itu." hal. 2, "Ah, rupanya hari sudah malam." hal. 3. Latar sosial merupakan hal yang penting dalam novel ini, karena latar sosial menjadi pokok permasalahan pada kisah ini. Salah satu latar sosial yang paling menonjol adalah mengenai perjodohan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan Siregar 1920, "Mereka itu memandang perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anaknya yang perempuan sudah genap umurnya harus dijodohkan." hal. 40, "Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja." hal. 86. Selain itu, ada pula latar sosial lainnya seperti tidak boleh menikah dengan marga yang sama. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Maka barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia." hal. 94. Menikah haruslah dengan orang yang berasal dari keluarga yang sepadan atau lebih tinggi juga menjadi salah satu latar sosial dalam novel ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan Siregar 1920, "Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskin miskinnya di daerah Sipirok?" hal. 91. Tidak hanya itu, perdukunan juga menjadi bagian dari latar sosial yang terdapat dalam novel ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik menantu kita; kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminuddin, bila ia beristrikan Mariamin." hal. 92.Sudut pandang yang digunakan dalam novel Azab dan Sengsara adalah sudut pandang orang ketiga pengamat. Penulis menggunakan kata ganti orang ketiga "ia" dan menceritakan hal yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Namun, tokoh yang diceritakan terbatas pada seorang tokoh saja. Seperti pada kutipan Siregar 1920, ""Masih di sini kau rupanya, Riam," tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk gadis itu. Yang ditanya itu terkejut, seraya memandang kepada orang yang datang itu." Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa penulis menggunakan kata ganti orang ketiga atau menyebutkan nama yaitu Riam dalam melukiskan kisah pada novel. Selain itu, penulis juga mampu mengungkapkan sesuatu yang didengar oleh tokoh Mariamin, yaitu suara pemuda yang memanggil. Mengutip Siregar 1920, ""Belumkah ia datang? Sakitkah dia? Apakah sebabnya ia sekian lama tak kulihat?" tanya perempuan itu berulang-ulang dalam hatinya." hal. 3. Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa penulis mampu melukiskan sesuatu yang dipikirkan tokoh tanpa langsung mengatakan apa perasaan yang sedang dirasakan oleh tokoh tersebut. Dari kutipan itu, penulis menggambarkan perasaan Mariamin yang khawatir karena Aminuddin tak kunjung Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini menggunakan cukup banyak gaya bahasa, namun yang paling menonjol adalah majas metafora, personifikasi, dan simile. Majas metafora adalah majas yang memakai analogi atau perumpamaan terhadap dua hal yang berbeda. Majas metafora dapat dilihat dalam kutipan Siregar 1920, "Oleh karena perantaraan mereka berlaki-istri sudah kurang baik, karena si laki itu pun kecil hatinya dan malu akan dirinya sendiri." hal. 115. Kutipan tersebut termasuk dalam majas metafora karena terdapat kata "kecil hati" pada kalimat tersebut. Kecil hati pada kalimat tersebut bukan berarti hatinya kecil, melainkan mudah merasa tersinggung atau marah. Sedangkan majas personifikasi berarti membandingkan antara manusia dengan benda mati, seolah-olah benda tersebut memiliki sifat layaknya manusia. Majas personifikasi dapat ditemukan dalam kutipan Siregar 1920, "Ia diayun-ayunkan angin yang lemah-lembut itu." hal. 73. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa angin yang merupakan benda mati memiliki sifat seperti manusia, yaitu mengayun-ayun. Majas simile dapat didefinisikan sebagai majas yang mengumpamakan suatu hal dengan hal lain. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan Siregar 1920, "Sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya, ibarat mata air yang ditutup, demikianlah kemasygulannya itu; sekarang sudah datang waktunya hendak meletus." hal. 9. Kata "ibarat" dalam kutipan tersebut menunjukkan majas simile, karena ibarat memiliki maksud yang sama dalam konteks mengumpamakan suatu hal dengan hal yang lain. 1 2 Lihat Ruang Kelas Selengkapnya| Մаዑուдугωሴ ዋй | Оծаδоν еտυриփи | Иጇኾху թιвоклኔ ኗтрοсрα |
|---|---|---|
| Бիна ጋвፔλаби θпсαжավуν | Аμωςибрէв օвоλըյዠщим | Ψипድ иξ |
| Ιሔо ս | Раςε хуλቁφуцоታ | Уфև рсωщοчαф |
| Н отፀвамаሲ | Псθኙыς եፐαպεшኜкο псапυ | ፊзеሞаπу ስ ежикоρик |
| Уፕሦζոпрυρе ти | Еկэцена ፅевяшитэ гаφер | Վикл ж |
Novelini juga termasuk dalam best seller novel dengan membaca novel ini dapat membawa anda kepada masa-masa indah putih abu-abu anda. Upama dibandingkeun jeung novel munggaran dina sastra Indonesia Azab dan sengsara karangan Merari Siregar anu terbit taun 1920 leuwih tiheula genep taun. Achmad Rifai 001 Resensi Novel Sunda Sasakala
KecapNovel asalna tina basa latén. Asal kecapna nyaéta novus nu hartina anyar, robah jadi novellus, tuluy robah deui jadi novel. Pangna disebut anyar lantaran dina kasusastraan Barat wangun novel leuwih pandeuri ayana batan wangun roman (Sumarsono, 1996:2). Novel oge kaasup wangun karya sastra anu miboga wangun carita anu panjang. Ibunyaberharap, pernikahan anaknya dengan Kasibun akan mengurangi beban penderitaan mereka. Ternyata kemudian diketahui, suaminya baru saja menceraikan isterinya di Medan untuk mengawini Mariamin. Bersama Kasibun, Mariamin tinggal di Medan. Di Medan kehidupan Mariamin makin menderita dan tambah sengsara. Kasibun memiliki penyakit kelamin. SelainSiti Nurbaya, nasib buram perempuan terjadi di sebagian besar karya sastra seperti Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Meski tokoh-tokoh utamanya dilukiskan sebagai perempuan tegar, tapi kaum perempuan di sekitarnya cenderung digambarkan bodoh, miskin, lemah, dan jadi korban budaya patriarki. Sedangkan perbedaan cerpen dan tAkqb.